Monday, October 7, 2013

Jatuh-Bangun Jackerton Menjadi Kesayangan Kaum Pria




Muncul dan langsung meroket di masa krismon, pamor Jackerton sempat meredup karena kurangnya perhatian sang pemilik. Belasan gerainya pun terpaksa ditutup. Bagaimana merek pakaian pria ini akhirnya bisa kembali berkibar?

“Kemarin cowok gue beli jas Jackerton. Eh, katanya barangnya diantar sampai ke rumah lho,” cerita Rina Febriana, karyawati sebuah bank swasta, kepada temannya. Layanan antar sampai tujuan? Boleh jadi, itulah salah satu kiat yang diterapkan produsen pakaian pria Jackerton untuk memberikan servis lebih buat para pelanggannya. Yang jelas, belakangan popularitas merek Jackerton memang makin naik. Selain varian produknya terus bertambah, penjualannya pun meningkat dari tahun ke tahun. 



Moncernya brand Jackerton tak bisa dilepaskan dari sosok Liaw Edi Wirawan, salah seorang pendiri dan kini Direktur Utama PT Gemilang Sukses Garmindo (GSG), produsen Jackerton. Menurut Edi, Jackerton mulai dikembangkan pada 1997. Ketika itu, Edi yang bekerja di perusahaan akuntan publik diajak oleh Haryanto – teman semasa di SMU Ricci, Jakarta – untuk buka usaha sendiri. 

Haryanto mengusulkan untuk membuka bisnis garmen pakaian formal pria. Alasannya, kala itu bisnis ini belum banyak dilirik orang. Haryanto pun yakin bisnis ini bisa berjalan. Sebaliknya, Edi mengaku, kala itu dirinya tidak begitu yakin, sebab ia melihat banyak orang lebih nyaman menjahitkan jas ataupun celana panjang pada penjahit (tailor) kepercayaannya ketimbang membeli yang sudah jadi di toko. Kendati keyakinannya tak penuh, akhirnya Edi setuju. Dana hasil patungan berdua senilai Rp 100 juta pun dibenamkan sebagai modal awal. “Dulu kami pikir sederhana. Tapi ketika sudah jalan, tidak sesederhana apa yang kami pikirkan sebelumnya,” ujar Edi sambil tergelak.

Awalnya, jenis produk yang dihasilkan hanya celana panjang formal laki-laki. Untuk memproduksi celana panjang – dan sekarang, sudah beberapa jenis produk lainnya – itu dilakukan lewat cara alih daya (outsourcing) ke pabrik milik teman mereka. Adapun pemasarannya melalui beberapa konter, seperti di Pasaraya Blok M dan Sarinah. Di kedua tempat itulah produk Jackerton pertama dipajang. Lalu, pada 1998 Jackerton juga masuk ke Sogo. 

Rupanya, timing mereka membuka usaha juga pas. Pasalnya, ketika krisis moneter menerjang Indonesia, banyak pemasok dan tenant di banyak department store yang ikut hengkang. Kerusuhan juga merupakan salah satu pemicu cabutnya para tenant. Singkatnya, kalangan department store ketika itu sedang membutuhkan kehadiran pemasok dan tenant. “Bagi kami, krismon membawa berkah. Sebab, kami dengan mudah bisa bertemu dengan manajer department store,” ungkap Edi. Lamaran pihak GSG untuk memasukkan Jackerton ke sebuah department store pun mulus tanpa rintangan. Tak mengherankan, jumlah gerainya terus bertambah.

Gunawan S. Tejokusumo, Manajer Merek PT Matahari Putra Prima, membenarkannya. “Jackerton masuk ketika krisis moneter, saat banyak pemasok bangkrut. Karena itulah banyak ruang kosong yang bisa disewakan pada Jackerton,” ujar pria yang akrab disapa Tejo ini. 

Momentum pas dirasakan pula dari sisi promosi. Manakala krisis itu, Radio Sonora yang menjadi salah satu media berpromosi Jackerton, memberikan potongan harga istimewa. Maklum, stasiun radio milik Kelompok Kompas-Gramedia yang biasanya kebanjiran order iklan, ketika itu sepi pemasang iklan. Alhasil, GSG bisa menikmati harga pemasangan iklan yang sangat murah dengan frekuensi pemutaran lebih banyak. Ketika itu, harga pemasangan iklan untuk jangka waktu tiga bulan, dengan masa tayang lima kali sehari, dikenai biaya Rp 60 juta. Namun, karena sedikitnya pemasang iklan, iklan produk Jackerton ditambah jam tayangnya hingga 8-10 kali sehari tanpa tambahan biaya. “Kalau sekarang sih, biaya iklan luar biasa mahal dengan masa penayangan tidak lebih dari lima kali sehari,” ucap Edi, membandingkan.

Selain diuntungkan situasi, Edi dan Haryanto juga melakukan sejumlah kiat promosi untuk membesarkan bisnis milik mereka ini. Di antaranya dengan mendaftarkan nomor telepon Jackerton atas nama perusahaan (GSG) pada Yellow Pages. Selain itu, lewat Yellow Pages pula, pada 2001 dan 2002 Jackerton memberikan voucher potongan harga Rp 50 ribu. Jadi, setiap orang yang mempunyai Yellow Pages bisa menggunting dan menukarkan kupon itu untuk memperoleh diskon harga produk Jackerton. 

Menurut Tejo, yang mengaku cukup mengikuti perkembangan Jackerton sejak pertama membuka konter di Matahari Department Store, penjualan mitranya ini terus meningkat. Tejo menyebutkan, Jackerton berkontribusi 8% atau sekitar Rp 10 miliar per tahun dari omset kategori Men's Formal Suits & Pants di department store ini. “Hingga sekarang, walaupun Jackerton mempunyai banyak produk, celana panjang merupakan ikon Jackerton. Itulah produk khas yang paling disukai pembeli,” ungkapnya. Bagaimana persepsinya mengenai merek ini secara keseluruhan? “Jackerton sekarang sudah masuk dalam kategori key brand atau merek ngetop. Itulah yang membuat Matahari masih berminat dan menganggap Jackerton sebagai merek potensial,” kata Tejo mengakui. 

Menengok ke belakang, sebenarnya GSG tak selalu menikmati masa manis. Tahun 2002, penjualannya mulai menurun. Waktu itu omset yang dibukukan hanya Rp 400 juta/bulan untuk keseluruhan gerainya. Konsekuensinya, GSG mesti menutup sejumlah gerai yang dinilai tidak produktif. Dalam setahun ada dua-tiga gerai Jackerton yang mesti ditutup. Akibatnya, dari 40 gerai yang sempat dikembangkan, di tahun 2002 hanya tersisa 25 gerai.

GSG makin goyah ketika tahun 2002 itu Haryanto memutuskan hengkang dari kemitraan ini. Alasannya, Haryanto ingin membuka usaha sendiri. Keadaan ini memaksa Edi berpikir keras bagaimana biduk bisnisnya ini tetap bisa berlayar. Lewat permenungannya, lulusan Universitas Tarumanagara, Jakarta ini menyadari bahwa ketidakfokusannya mengelola bisnis merupakan salah satu penyebab. Maklum, saat itu Edi masih menjadi salah satu konsultan akuntansi di sebuah perusahaan. “Ternyata di bisnis ritel ini banyak hal yang perlu kami amati secara terus-menerus,” ucap Edi menyimpulkan. Ia melihat pengembangan produk, displai konter, pelayanan tenaga penjual, serta masalah pergudangan, merupakan beberapa hal yang saling terkait dan perlu diperhatikan sungguh-sungguh.

Di sisi lain, jenis produk yang ditawarkan Jackerton kala itu masih bertumpu pada jenis celana panjang, belum ada varian produk baru. Padahal, para pesaing sudah mengeluarkan beragam varian, seperti kemeja, jaket dan jas. Apalagi, model distribusi dan penjualan Jackerton masih terfokus di gerai-gerai department store, karena Jackerton belum mempunyai showroom penjualan sendiri.

Menyadari berbagai kekeliruan tersebut, Edi pun memutuskan untuk berkonsentrasi mengelola GSG. Lalu, mulai 2004, Jackerton membuka showroom sendiri. Saat ini, Jackerton telah kembali mempunyai 40 gerai yang tersebar di seluruh Indonesia dengan 10 showroom. Menurut Edi, jika sebelumnya pemasaran menjadi salah satu kendala, sekarang setelah ada showroom persoalannya terletak pada manajemen keluar-masuknya barang, dan ketepatan waktu delivery ke pelanggan. Selama ini kerap terjadi ketidaktepatan pengiriman barang, sehingga memicu keterlambatan pengiriman ke berbagai gerai.

Dari segi produk, GSG melakukan diversifikasi dengan mengembangkan varian jas dan rompi. Beberapa terobosan dilakukan Edi untuk produk jasnya, seperti memperkenalkan jas berkancing tiga. Selain itu, Jackerton juga mengeluarkan produk semijas dengan model jaket yang dilengkapi retsleiting di bagian tengah. Ketika itu tidak ada kompetitor untuk kelas menengah yang mengeluarkan jas bermodel jaket. 

Agar bisa terus meningkatkan kualitas, GSG menyebarkan pula angket untuk memperoleh masukan dari pelanggan. Masukan dari konsumen sampai menyentuh hal teknis seperti perbaikan cara menjahit, furing, serta posisi ban atau garis ikat pinggang. Selain membuka diri terhadap keluhan konsumen, manajemen GSG juga menyediakan layanan vermak gratis bila ada bagian yang perlu diperbaiki setelah membeli. GSG pun memberikan layanan antar ke tempat pemesan. 

Gebrakan Edi lainnya untuk mengerek kembali kinerja Jackerton adalah dengan memberikan potongan harga hingga 50%. Alasannya ketika itu, harga murah bisa menarik perhatian konsumen. Strategi serupa dilakukan ketika pada 2006 Jackerton muncul dengan varian bermodel pakaian dinas harian (PDH). Potongan harga diberikan hingga 20%. Namun, diakui Edi, ada efek kurang menguntungkan bagi Jackerton karena sering memberi potongan harga. “Citra Jackerton menurun karena sering memberi diskon. Padahal ternyata, pelanggan Jackerton tidak membutuhkan diskon,” ujar Edi menyimpulkan.

Kesadaran tersebut dirasakan terutama saat PDH Jackerton muncul tanpa diskon, tetapi tetap disambut baik oleh konsumen. Terbukti, di Atrium Senen produk PDH Jackerton laku keras dibandingkan dengan produk pesaing yang memberi korting hingga setengah harga. “Dari situ kami melihat bahwa pelanggan tidak mencari barang yang murah. Mereka lebih suka membeli produk yang berkualitas walaupun harganya sedikit lebih mahal,” kata Edi memberi ulasan. Awalnya, PDH Jackerton dijual di kisaran harga Rp 199-239 ribu per potong. Sekarang harga jualnya berkisar Rp 219-269 ribu per potong. 

Untuk produk PDH-nya tersebut, tampaknya Edi sangat berharap banyak dan optimistis bisa mendulang sukses. Pasalnya, di Indonesia, PDH Jackerton hanya punya satu kompetitor. Namun, Edi yakin PDH-nya lebih unggul ketimbang pesaingnya. Salah satunya karena pesaingnya itu menggunakan kain katun polos; sedangkan PDH Jackerton menggunakan bahan polyester yang bercorak dan bervariasi warnanya. Ditopang dengan mutu bahan dan kerapian jahitan, popularitas PDH Jackerton pun terdongkrak. Hasilnya, Jackerton mendapatkan proyek pengadaan PDH untuk staf berbagai departemen, seperti Departemen Perdagangan, Kepolisian, anggota DPR, pejabat Pemda di Bogor, Bekasi, Banjarmasin, dan sebagainya. “PDH membuat kami lebih percaya diri,” ucap Edi mantap.

Setelah mengeluarkan PDH, pada 2007 varian produk Jackerton diperluas dengan memproduksi kemeja dan jaket. Edi mengklaim, produksi kemejanya sekarang sekitar 1.200 potong per bulan, dan jaket 1.000 potong per bulan. Untuk jas, rata-rata produksinya 1.200 potong per bulan, dengan harga jual Rp 899 ribu-1 juta per potong. Adapun produksi PDH sebanyak 2 ribu potong per bulan. “Mulai tahun depan, kami akan meniadakan diskon untuk produk yang baru keluar,” tandas Edi.

Strategi diskon yang selama ini diterapkan GSG memang dikritik Daniel Surya, pengamat branding dari Brand Union. Menurut Daniel, semestinya strategi pricing seperti diskon menjadi strategi kedua yang dipilih. Justru keunggulan berupa hal-hal yang bisa dibanggakanlah yang perlu lebih diutamakan. Daniel juga menyarankan, pemilik Jackerton perlu menyuguhkan suatu diferensiasi yang jelas. “Jackerton harus keluar dengan diferensiasi, dan bisa menampilkan alasan kenapa orang harus membelinya,” ujar Daniel. “Pricing adalah opsi kedua untuk fight. Jika hanya karena harga murah dengan banyak diskon Jackerton diburu pembeli, itu justru perlu diwaspadai secara cermat oleh pemilik Jackerton,” sambungnya mengingatkan.

Toh, manajemen GSG sebenarnya bukan hanya memikirkan faktor pricing. Sebagai contoh, perusahaan ini berencana setiap bulannya bisa mengeluarkan brosur. Isinya memuat berbagai koleksi terbaru Jackerton, termasuk harganya. Menurut Edi, jika selama ini dalam setahun konsumen Jackerton masuk ke gerai rata-rata empat kali, diharapkan dengan brosur yang terus diperbarui, plus inovasi produk, bisa meningkatkan frekuensi kedatangan konsumen hingga 12 kali setahun.


Bagaimana dengan ekspansi wilayah? Ini pun rupanya sudah dalam pemikiran Edi. Ia melihat Kalimantan sebagai pasar potensial di luar Pulau Jawa. Saat ini, Jackerton baru memiliki sebuah showroom dan gerai di Banjarmasin. Sementara kota lainnya belum digarap. Ekspor? “Kami belum ada rencana, karena ingin berkonsentrasi lebih dulu pada ekspansi bisnis di Indonesia,” Edi menegaskan.

0 comments:

Post a Comment